SUATU rancangan masjid yang sangat berhasil dalam upaya menghadirkan kosa bentuk masjid tradisional Jawa ke dalam ungkapan-ungkapan modern adalah Masjid Said Naum yang terletak di dalam area kepadatan tinggi di Kebon Kacang, Jakarta.
Masjid yang dirancang arsitek Adhi Moersid dan tim ini jelas memperlihatkan usaha serius dalam mengakomodasi dua kepentingan berbeda yaitu merepresentasikan karakter arsitektur lokal/tradisional dengan pendekatan modern.Wajar jika rancangan ini kemudian memenangkan kompetisi yang diadakan Pemda DKI pada tahun 1975 di mana kriteria utamanya adalah harus merepresentasikan karakter arsitektur tradisional, cocok dengan lingkungan sekitar, dan menggunakan material lokal. Atas alasan itu pulalah bangunan masjid yang selesai pembangunannya tahun 1977 ini mendapatkan penghargaan Honourable Mention dari Aga Khan Award for Architecture pada tahun 1986.
Masjid Said Naum -Penampilan masjid didominasi oleh atap yang mencoba menggubah kembali atap tumpang atau Meru tradisional ke dalam perwujudan yang baru. (Sumber: masjid2000.org/N. Luthfi).
Menurut catatan tertulis dari sang arsitek, pada waktu menggarap rancangan ini sebenarnya tidak ada pretensi mengupas kemudian merumuskan bagaimana tradisi dan unsur arsitektur tradisional dapat dimasukkan ke dalam rancangan dengan mengikuti aturan atau teori tertentu. Namun, yang dicoba dilakukan adalah mencarikan landasan untuk memberikan makna pada ungkapan arsitekturnya baik yang teraga maupun yang tidak teraga.
Salah satu landasan perancangannya adalah keyakinan bahwa Islam merupakan ajaran atau ideologi yang ke mana pun ia datang tidak secara langsung membawa atau memberikan bentuk budaya berupa fisik. Di mana pun Islam datang, ia siap memakai berbagai bentuk lokal/tradisional untuk dijadikan identitas fisiknya. Dari sini kita menemukan banyak bangunan-bangunan tradisional yang dengan mudah dapat berubah fungsinya menjadi masjid di berbagai masyarakat yang telah memeluk agama Islam.
Arsitektur Islam dapat juga dinyatakan sebagai manifestasi fisik dari adaptasi yang harmonis antara ajaran Islam dengan bentuk-bentuk lokal. Oleh karena itu, Arsitektur Islam bisa amat kaya akan ragam dan jenisnya sebagaimana yang diungkapkan arsitek Muslim Turki Dogan Kuban bahwa tidak ada homogenitas dan kesatuan dalam bentuk dari apa yang disebut Arsitektur Islam. Konsep inilah yang dipakai sang arsitek sebagai fokus sentral dalam mendesain masjid bernuansa modern di atas tanah wakaf warga keturunan Mesir bernama Said Naum.
***
DARI segi bentuk, gubahan pertama yang menarik perhatian adalah desain atap masjid. Karena arsitektur atap merupakan salah satu ciri menonjol dalam arsitektur tradisional di Indonesia/Jawa, dapatlah dimengerti jika desain ini mencoba mengambil kembali karakteristik atap masjid tradisional, namun direvitalisasi.
Penampilan masjid didominasi atap yang mencoba menggubah kembali atap tumpang atau meru tradisional yang sering ditampilkan dalam bangunan sakral di Jawa atau Bali, ke dalam perwujudan baru. Dalam rancangan yang memenangkan kompetisi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta era Ali Sadikin itu, Adhi menawarkan rancangan masjid yang berpijak kepada nilai-nilai arsitektur tradisional Indonesia. Meru, yang dalam bahasa Sansekerta berarti gunung, biasa juga disebut dengan atap limasan. Atap tanpa bubungan ini acap digunakan bangunan peribadatan di seantero Jawa sebelum kedatangan Islam ke Indonesia, seperti bangunan kuil yang sampai sekarang bisa dijumpai di Bali. Selain untuk rumah ibadah, atap meru juga sering digunakan menaungi wantilan, semacam rumah penyabungan ayam. Atap meru yang berpuncak tunggal punya kedudukan sakral bagi masyarakat nusantara pra-Islam. Mereka memburu puncak tinggi semacam gunung dan menjadikannya tempat pemujaan dewa-dewi karena memiliki jarak yang terdekat dengan langit. Karena itu, meru dalam bangunan berfungsi sebagai axis mundi atau sumbu transendental yang menghubungkan dunia manusia dan Sang Pencipta. Islam datang ke nusantara secara damai melalui perdagangan dan akulturasi dengan budaya setempat.
Karena itulah, para wali tak memberangus rumah ibadah yang ditinggalkan pengikutnya setelah mereka berbondong-bondong masuk Islam. Kuil-kuil itu bersalin fungsi menjadi masjid, hal yang sama berlaku terhadap wantilan yang tak lagi punya aktivitas setelah judi diharamkan. Meru di Masjid Said Naum ditegakkan dengan empat soko guru. Si arsitek 'memangkas' meru itu di tengah dan memutar potongan sebelah atas sebanyak 45 derajat. Hasilnya adalah atap saling tumpang dengan jurai membias dari pusat ke delapan penjuru mata angin. "Maknanya, Sang Pencipta ada di mana saja".
Berbeda pada bangunan tradisional, bagian atas diputar 90 derajat dari bentuk massa bangunan masjidnya. Hal ini jelas memperlihatkan usaha menarik dalam menampilkan gagasan baru untuk merevitalisasi bentuk atap lokal/tradisional tersebut. Bentuk seperti itu tampaknya berkembang lebih lanjut di kemudian hari pada bangunan masjid-masjid modern lainnya di Indonesia seperti Masjid Al-Markaz Al-Islami di Makassar dan Masjid Pusdai (Islamic Center) di Bandung.
Cahaya alami - Pencahayaan alami menembus masuk ke dalam ruang shalat memberi suasana kenyamanan bagi setiap pengguna. Sementara pada bagian atas terlihat balok-balok struktur rangka atap yang menjadi `self bearing structure` dari sistem struktur atap tradisional sengaja diekspose.
Bentuk atap tersebut sebenarnya juga memperlihatkan kesamaan profil dengan tipe atap tumpang dengan saka guru. Biasanya ada empat saka guru di tengah ruang shalat untuk menyangga atap kedua maupun ketiganya. Namun, empat saka guru tersebut di dalam rancangan ini dihilangkan agar didapat pandangan secara jelas ke arah mihrab dan tersedia ruang tempat shalat dengan bebas.
Konsekuensi penghilangan kolom-kolom saka guru (Tiang) di tengah-tengah ruangan tersebut adalah diperlukannya struktur bentang cukup lebar. Tampaknya pilihan struktur rangka baja telah dipakai untuk menggantikan struktur kayu yang biasa pada masjid tradisional. Namun yang sangat menarik di sini adalah dikembangkannya kembali konsep sistem atap lama pada struktur rangka atap yang rigid sebagai self bearing structure untuk menutup ruang dengan bentang lebar. Desain ini dengan jelas memeragakan pemanfaatan teknologi yang diadaptasikan dengan tradisi lokal, jadi masjid ini tidak mempunyai tiang sama sekali di tengah dalamnya.
Pencahayaan alami yang masuk ke ruang shalat memberi suasana nyaman bagi setiap pengguna. Sementara pada bagian atas terlihat balok struktur rangka atap yang menjadi self bearing structure dari sistem struktur atap tradisional sengaja diekspos.
***
YANG juga terlihat sangat menonjol dalam rancangan masjid yang berdenah segi empat simetris ini adalah kenyamanan ruang-ruangnya, yang terjadi sebab adanya bukaan di semua sisi dindingnya sehingga tercapai penghawaan silang dengan baik. Di setiap sisi dinding masjid terdapat lima jendela kayu lengkung yang lebar dengan beberapa di antaranya dipakai sebagai pintu. Uniknya bukaan-bukaan ini tidak menggunakan daun jendela/pintu tetapi deretan kayu berukir/berulir berjarak tertentu dengan arah vertikal yang mengisi luas jendela tersebut. Model jendela seperti ini mengingatkan pada rumah-rumah tradisional Betawi maupun masjid-masjid lama di Jakarta yang dibangun sejak abad ke-18.
Bukaan - Bukaan tanpa daun jendela pada setiap sisi bangunan seperti ini menjadikan angin bebas bertiup ke dalam bangunan sehingga tercapai penghawaan silang. Nampaknya ini merupakan salah satu kunci kenyamanan karena mengadaptasi kondisi iklim lokal. (Sumber: masjid2000/N. Luthfi).
Bukaan tanpa daun jendela pada setiap sisi bangunan seperti ini menjadikan angin bebas bertiup ke dalam bangunan sehingga tercapai penghawaan silang. Nampaknya ini merupakan salah satu kunci kenyamanan karena mengadaptasi kondisi iklim lokal.
Penggunaan sirkulasi yang mudah dan jelas juga memberi kenyamanan tersendiri dari bangunan berkarakter publik ini. Selain itu, penggunaan bentuk atap juga sangat cocok untuk bangunan di tempat yang memiliki curah hujan tinggi, bahkan adanya selasar yang lebar pada semua sisi yang dapat melindungi ruang dalam/interior dari hujan dan silau akibat panas matahari luar semakin menambah kenyamanan ruang-ruang masjid.
Pencahayaan alami yang dramatis dan sayup-sayup lembut-yang memasuki ruangan shalat baik dari samping maupun dari lubang cahaya dari pertemuan bidang miring atap yang diputar dengan atap di bawahnya-sangatlah mendukung suasana kekhusyukan. Sementara lampu di tengah langit-langit atap sangat serasi dengan geometri yang memberikan cahaya iluminasi. Bagaimanapun, efek pencahayaan ini memberikan kenyamanan sangat bagi setiap pengguna ketika berada di dalam masjid.
Area di luar bangunan dirancang dengan berbagai level dengan tanaman berbeda pada masing-masing tempat. Pepohonan di sekeliling batas dan sebagai pengisi antarbaris paving lantai menyediakan bayangan dan atmosfer yang relatif sejuk yang mengalir secara silang ke dalam bangunan. Tata letak bangunan dan penataan lanskap tersebut jelas hendak menjadikan area yang tenang, sejuk, dan damai bagai oase di tengah hiruk-pikuk area urban Kota Jakarta. Ini menunjukkan desain bangunan yang sangat adaptif dengan iklim lokal.
Dengan demikian, baik penampilan masjid dalam ruang dan bentuk, tata letak dan penataan lanskap, tampaknya sangat mendekati ideal. Kehadirannya begitu nyaman bagi kegiatan ritual ibadah seperti shalat, itikaf (berdiam diri di dalam masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah), perenungan hingga muhasabah (mengevaluasi diri).
Ini semua tidak lepas dari kuatnya ungkapan-ungkapan karakter lokal atau lokalitas dalam rancangan masjid baik secara keseluruhan maupun detail-detailnya. Ungkapan lokalitas memang banyak diolah dan menjadi ciri penting dalam rancangan masjid modern ini. Bahkan, materialnya menunjukkan material lokal kecuali bahan baja untuk struktur atap. Ini yang tampaknya patut menjadi contoh dan perlu dikembangkan perancang/arsitek untuk bangunan masjid khususnya dan bangunan lain pada umumnya di negeri kita tercinta, Indonesia.
Foto by : http://archnet.org/library/sites/one-site.jsp?site_id=64***
DARI segi bentuk, gubahan pertama yang menarik perhatian adalah desain atap masjid. Karena arsitektur atap merupakan salah satu ciri menonjol dalam arsitektur tradisional di Indonesia/Jawa, dapatlah dimengerti jika desain ini mencoba mengambil kembali karakteristik atap masjid tradisional, namun direvitalisasi.
Penampilan masjid didominasi atap yang mencoba menggubah kembali atap tumpang atau meru tradisional yang sering ditampilkan dalam bangunan sakral di Jawa atau Bali, ke dalam perwujudan baru. Dalam rancangan yang memenangkan kompetisi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta era Ali Sadikin itu, Adhi menawarkan rancangan masjid yang berpijak kepada nilai-nilai arsitektur tradisional Indonesia. Meru, yang dalam bahasa Sansekerta berarti gunung, biasa juga disebut dengan atap limasan. Atap tanpa bubungan ini acap digunakan bangunan peribadatan di seantero Jawa sebelum kedatangan Islam ke Indonesia, seperti bangunan kuil yang sampai sekarang bisa dijumpai di Bali. Selain untuk rumah ibadah, atap meru juga sering digunakan menaungi wantilan, semacam rumah penyabungan ayam. Atap meru yang berpuncak tunggal punya kedudukan sakral bagi masyarakat nusantara pra-Islam. Mereka memburu puncak tinggi semacam gunung dan menjadikannya tempat pemujaan dewa-dewi karena memiliki jarak yang terdekat dengan langit. Karena itu, meru dalam bangunan berfungsi sebagai axis mundi atau sumbu transendental yang menghubungkan dunia manusia dan Sang Pencipta. Islam datang ke nusantara secara damai melalui perdagangan dan akulturasi dengan budaya setempat.
Karena itulah, para wali tak memberangus rumah ibadah yang ditinggalkan pengikutnya setelah mereka berbondong-bondong masuk Islam. Kuil-kuil itu bersalin fungsi menjadi masjid, hal yang sama berlaku terhadap wantilan yang tak lagi punya aktivitas setelah judi diharamkan. Meru di Masjid Said Naum ditegakkan dengan empat soko guru. Si arsitek 'memangkas' meru itu di tengah dan memutar potongan sebelah atas sebanyak 45 derajat. Hasilnya adalah atap saling tumpang dengan jurai membias dari pusat ke delapan penjuru mata angin. "Maknanya, Sang Pencipta ada di mana saja".
Berbeda pada bangunan tradisional, bagian atas diputar 90 derajat dari bentuk massa bangunan masjidnya. Hal ini jelas memperlihatkan usaha menarik dalam menampilkan gagasan baru untuk merevitalisasi bentuk atap lokal/tradisional tersebut. Bentuk seperti itu tampaknya berkembang lebih lanjut di kemudian hari pada bangunan masjid-masjid modern lainnya di Indonesia seperti Masjid Al-Markaz Al-Islami di Makassar dan Masjid Pusdai (Islamic Center) di Bandung.
Cahaya alami - Pencahayaan alami menembus masuk ke dalam ruang shalat memberi suasana kenyamanan bagi setiap pengguna. Sementara pada bagian atas terlihat balok-balok struktur rangka atap yang menjadi `self bearing structure` dari sistem struktur atap tradisional sengaja diekspose.
Bentuk atap tersebut sebenarnya juga memperlihatkan kesamaan profil dengan tipe atap tumpang dengan saka guru. Biasanya ada empat saka guru di tengah ruang shalat untuk menyangga atap kedua maupun ketiganya. Namun, empat saka guru tersebut di dalam rancangan ini dihilangkan agar didapat pandangan secara jelas ke arah mihrab dan tersedia ruang tempat shalat dengan bebas.
Konsekuensi penghilangan kolom-kolom saka guru (Tiang) di tengah-tengah ruangan tersebut adalah diperlukannya struktur bentang cukup lebar. Tampaknya pilihan struktur rangka baja telah dipakai untuk menggantikan struktur kayu yang biasa pada masjid tradisional. Namun yang sangat menarik di sini adalah dikembangkannya kembali konsep sistem atap lama pada struktur rangka atap yang rigid sebagai self bearing structure untuk menutup ruang dengan bentang lebar. Desain ini dengan jelas memeragakan pemanfaatan teknologi yang diadaptasikan dengan tradisi lokal, jadi masjid ini tidak mempunyai tiang sama sekali di tengah dalamnya.
Pencahayaan alami yang masuk ke ruang shalat memberi suasana nyaman bagi setiap pengguna. Sementara pada bagian atas terlihat balok struktur rangka atap yang menjadi self bearing structure dari sistem struktur atap tradisional sengaja diekspos.
***
YANG juga terlihat sangat menonjol dalam rancangan masjid yang berdenah segi empat simetris ini adalah kenyamanan ruang-ruangnya, yang terjadi sebab adanya bukaan di semua sisi dindingnya sehingga tercapai penghawaan silang dengan baik. Di setiap sisi dinding masjid terdapat lima jendela kayu lengkung yang lebar dengan beberapa di antaranya dipakai sebagai pintu. Uniknya bukaan-bukaan ini tidak menggunakan daun jendela/pintu tetapi deretan kayu berukir/berulir berjarak tertentu dengan arah vertikal yang mengisi luas jendela tersebut. Model jendela seperti ini mengingatkan pada rumah-rumah tradisional Betawi maupun masjid-masjid lama di Jakarta yang dibangun sejak abad ke-18.
Bukaan - Bukaan tanpa daun jendela pada setiap sisi bangunan seperti ini menjadikan angin bebas bertiup ke dalam bangunan sehingga tercapai penghawaan silang. Nampaknya ini merupakan salah satu kunci kenyamanan karena mengadaptasi kondisi iklim lokal. (Sumber: masjid2000/N. Luthfi).
Bukaan tanpa daun jendela pada setiap sisi bangunan seperti ini menjadikan angin bebas bertiup ke dalam bangunan sehingga tercapai penghawaan silang. Nampaknya ini merupakan salah satu kunci kenyamanan karena mengadaptasi kondisi iklim lokal.
Penggunaan sirkulasi yang mudah dan jelas juga memberi kenyamanan tersendiri dari bangunan berkarakter publik ini. Selain itu, penggunaan bentuk atap juga sangat cocok untuk bangunan di tempat yang memiliki curah hujan tinggi, bahkan adanya selasar yang lebar pada semua sisi yang dapat melindungi ruang dalam/interior dari hujan dan silau akibat panas matahari luar semakin menambah kenyamanan ruang-ruang masjid.
Pencahayaan alami yang dramatis dan sayup-sayup lembut-yang memasuki ruangan shalat baik dari samping maupun dari lubang cahaya dari pertemuan bidang miring atap yang diputar dengan atap di bawahnya-sangatlah mendukung suasana kekhusyukan. Sementara lampu di tengah langit-langit atap sangat serasi dengan geometri yang memberikan cahaya iluminasi. Bagaimanapun, efek pencahayaan ini memberikan kenyamanan sangat bagi setiap pengguna ketika berada di dalam masjid.
Area di luar bangunan dirancang dengan berbagai level dengan tanaman berbeda pada masing-masing tempat. Pepohonan di sekeliling batas dan sebagai pengisi antarbaris paving lantai menyediakan bayangan dan atmosfer yang relatif sejuk yang mengalir secara silang ke dalam bangunan. Tata letak bangunan dan penataan lanskap tersebut jelas hendak menjadikan area yang tenang, sejuk, dan damai bagai oase di tengah hiruk-pikuk area urban Kota Jakarta. Ini menunjukkan desain bangunan yang sangat adaptif dengan iklim lokal.
Dengan demikian, baik penampilan masjid dalam ruang dan bentuk, tata letak dan penataan lanskap, tampaknya sangat mendekati ideal. Kehadirannya begitu nyaman bagi kegiatan ritual ibadah seperti shalat, itikaf (berdiam diri di dalam masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah), perenungan hingga muhasabah (mengevaluasi diri).
Ini semua tidak lepas dari kuatnya ungkapan-ungkapan karakter lokal atau lokalitas dalam rancangan masjid baik secara keseluruhan maupun detail-detailnya. Ungkapan lokalitas memang banyak diolah dan menjadi ciri penting dalam rancangan masjid modern ini. Bahkan, materialnya menunjukkan material lokal kecuali bahan baja untuk struktur atap. Ini yang tampaknya patut menjadi contoh dan perlu dikembangkan perancang/arsitek untuk bangunan masjid khususnya dan bangunan lain pada umumnya di negeri kita tercinta, Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar