Pages

Selasa, 03 Januari 2012

kali krukut tempoe doeloe





Melintasi kawasan Kebayoran Baru, akan diperkenalkan dengan wajah pemukiman mewah di selatan Jakarta. Sejumlah pejabat dan pengusaha nasional pun banyak memilih tinggal di kawasan ini.

Tepatlah rasanya, jika Kebayoran Baru disebut sebagai kawasan elit di Jakarta. Namun di balik stigma elit, kawasan ini mempunyai arti dan sejarah tersendiri. 

Menurut sejarawan Jakarta, Alwi Shahab, dulu kawasan ini adalah tempat penampung kayu. Kata  ‘Kebayoran’ berasal dari kabayuran. Kabayuran  berarti tempat penimbunan kayu bayur.  Kayu bayur kala itu dikenal sebagai bahan bangunan yang sangat baik. Kekuataan kayu bayur sangat diakui serta tahan terhadap serangan rayap. 

Selain kayu bayur, ada kayu-kayu jenis lain lain yang ditimbun di lokasi ini. Kayu-kayu yang ditimbun ini kemudian untuk diangkut ke Batavia yang ketika itu pusat kotanya berada di  wilayah Jakarta Kota. Kayu-kayu itu diangkut melalui Kali Krukut dan Kali Grogol dengan cara dihanyutkan.

Pada masa kompeni (begitu orang Indonesia menyebutnya) atau Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), Kebayoran Baru menjadi tempat pelarian para perampok dan penjahat dari Batavia. VOC dulu adalah kelompok perdagangan atau perusahaan perdagangan milik Belanda yang berkuasa di Indonesia. 

Dalam perjalanannya, pada tahun tahun 1938 kawasan Kebayoran direncanakan akan dibangun sebuah lapangan terbang internasional. Namun rencana itu batal karena keburu perang dunia II. 

Akhirnya dibangunlah kota satelit Kebayoran Baru, yang meliputi areal seluas 730 hektar. Kawasan ini direncanakan untuk menampung 100 ribu penduduk.  Mungkin kini, jumlah penduduk Kebayoran bisa berlipat-lipat dengan jumlah penduduk yang rencananya akan ditampung.

Pada tahun 1950-an, kawasan  Kebayoran Baru  terus berkembang. Namun meski terus berkembang, tetap saja sering disebut kampung udik. Penduduknya pun disebut sebagai orang udik. 

Mahfum,  Kebayoran Baru dulu letaknya terpisah dari pusat Kota Jakarta, sekitar 8 kilometer ke arah selatan Batavia.  

Saat itu, untuk masuk kawasan Kebayoran Baru, hanya ada dua jalan.  Pertama melalui Kebayoran Lama terus melalui  Jalan Kyai Maja atau melewati Manggarai dan masuk ke Jalan Wolter  Monginsidi yang becek.  Jalan Sudirman ketika itu belum ada. 

Warga Jakarta dulu pasti berpikir seribu kali jika akan menuju kawasan Kebayoran Baru. Selain kawasan ini sepi, ada jagoan bernama Mat Item. Mereka takut dihadang Mat Item, jagoan Kebayoran Lama yang dikenal sangar.

Cerita tentang Kebayoran Baru juga mengalir lancar dari bibir Adolf Heuken, 79 tahun. Pastor Jesuit asal Jerman itu, mengatakan, Kebayoran Baru saat masa penjajahan Belanda merupakan kota satelit Batavia. "Kebayoran baru adalah tempat ruang terbuka hijau," kata Adolf kepada VIVAnews.

Pada tahun 1963 fungsi dari Kebayoran Baru sebagai kota satelit masih dipertahankan. "Dulu tidak ada jalan dan perumahan di daerah itu, seperti Mampang, Warung Buncit dan Pejaten," katanya. Semua lahannya masih ditumbuhi pepohonan. 

Adolf mengatakan, pada masa pemerintahan Gubernur DKI Ali Sadikin, wilayah Kebayoran hingga Semanggi tidak diperbolehkan untuk mendirikan bangunan. Namun dalam perkembangannya makin banyak para pendatang dari luar Jakarta yang memenuhi wilayah Kebayoran.

Tentunya  makin banyaknya penduduk, memicu pembangunan pembangunan rumah yang begitu cepat. "Ini juga yang membuat harga tanahnya terus tinggi," ujarnya.

Sebenarnya pada tahun 1950, Kebayoran Baru dirancang untuk ditempati 50 ribu orang saja. Tapi sekarang jumlahnya jauh melebihi itu. "Dulunya kota satelit tapi sekarang kota yang krodit. 

***

Ada satu sebutan di wilayah Kebayoran Baru yang hingga kini masih dipertahankan. Biasanya, sebutan ini kerap dilontarkan kondektur bus saat akan memasuki wilayah Blok M. Sebutan itu tak lain adalah CSW. 

Lalu bagaimana sejarah munculnya nama CSW ini?  Menurut Alwi Shahab, kata CSW adalah singkatan dari Centrale Stichting Wederopbouw. CSW adalah sebuah lembaga yang bertugas mengelola wilayah Kebayoran Baru. 

Kebayoran Baru pada masa kembalinya Belanda  ke Tanah Air pada tahun 1948 dibentuk sebagai kota satelit Jakarta, yang ketika itu berpusat di sekitar wilayah Jakarta Kota. Nah untuk pengelolaannya ditugaskan kepada CSW. 

Informasi lainnya menyebutkan CSW jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah Pusat Yayasan Rekonstruksi. Ketika itu CSW digunakan untuk penampungan truk-truk, mesin gilas, alat-alat berat, material, batu-batuan, aspal dan tempat tinggal pegawai golongan I atau tenaga juru karya. 

Kantor CSW diresmikan pada 1 Juni 1948 yang lokasinya tak jauh dari Terminal Blok M sekarang ini. Kemudian pada 1 Januari 1952, CSW berganti nama jadi Pembangunan Chusus Kotabaru Kebayoran. 

Sampai 1958 kawasan di Jakarta Selatan ini masih ditangani oleh Departemen Pekerjaaan Umum, bukan Pemda DKI. Namun kini penanganannya di bawah kendali Pemprov DKI Jakarta.  



vivanews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar