Melintasi kawasan Kebayoran Baru, akan
diperkenalkan dengan wajah pemukiman mewah di selatan Jakarta.
Sejumlah pejabat dan pengusaha nasional pun banyak memilih tinggal di
kawasan ini.
Tepatlah rasanya, jika Kebayoran Baru disebut
sebagai kawasan elit di Jakarta. Namun di balik stigma elit, kawasan
ini mempunyai arti dan sejarah tersendiri.
Menurut
sejarawan Jakarta, Alwi Shahab, dulu kawasan ini adalah tempat
penampung kayu. Kata ‘Kebayoran’ berasal dari kabayuran.
Kabayuran berarti tempat penimbunan kayu bayur. Kayu
bayur kala itu dikenal sebagai bahan bangunan yang sangat baik.
Kekuataan kayu bayur sangat diakui serta tahan terhadap serangan
rayap.
Selain kayu bayur, ada kayu-kayu jenis lain lain
yang ditimbun di lokasi ini. Kayu-kayu yang ditimbun ini kemudian
untuk diangkut ke Batavia yang ketika itu pusat kotanya berada di
wilayah Jakarta Kota. Kayu-kayu itu diangkut melalui Kali Krukut dan
Kali Grogol dengan cara dihanyutkan.
Pada masa kompeni (begitu
orang Indonesia menyebutnya) atau Vereenigde Oost-Indische Compagnie
(VOC), Kebayoran Baru menjadi tempat pelarian para perampok dan
penjahat dari Batavia. VOC dulu adalah kelompok perdagangan atau
perusahaan perdagangan milik Belanda yang berkuasa di
Indonesia.
Dalam perjalanannya, pada tahun tahun 1938
kawasan Kebayoran direncanakan akan dibangun sebuah lapangan terbang
internasional. Namun rencana itu batal karena keburu perang dunia
II.
Akhirnya dibangunlah kota satelit Kebayoran Baru,
yang meliputi areal seluas 730 hektar. Kawasan ini direncanakan untuk
menampung 100 ribu penduduk. Mungkin kini, jumlah penduduk
Kebayoran bisa berlipat-lipat dengan jumlah penduduk yang rencananya
akan ditampung.
Pada tahun 1950-an, kawasan Kebayoran
Baru terus berkembang. Namun meski terus berkembang, tetap saja
sering disebut kampung udik. Penduduknya pun disebut sebagai orang
udik.
Mahfum, Kebayoran Baru dulu letaknya
terpisah dari pusat Kota Jakarta, sekitar 8 kilometer ke arah selatan
Batavia.
Saat itu, untuk masuk kawasan Kebayoran
Baru, hanya ada dua jalan. Pertama melalui Kebayoran Lama terus
melalui Jalan Kyai Maja atau melewati Manggarai dan masuk ke
Jalan Wolter Monginsidi yang becek. Jalan Sudirman ketika
itu belum ada.
Warga Jakarta dulu pasti berpikir seribu
kali jika akan menuju kawasan Kebayoran Baru. Selain kawasan ini
sepi, ada jagoan bernama Mat Item. Mereka takut dihadang Mat Item,
jagoan Kebayoran Lama yang dikenal sangar.
Cerita tentang
Kebayoran Baru juga mengalir lancar dari bibir Adolf Heuken, 79
tahun. Pastor Jesuit asal Jerman itu, mengatakan, Kebayoran Baru saat
masa penjajahan Belanda merupakan kota satelit Batavia. "Kebayoran
baru adalah tempat ruang terbuka hijau," kata Adolf kepada
VIVAnews.
Pada tahun 1963 fungsi dari Kebayoran Baru sebagai
kota satelit masih dipertahankan. "Dulu tidak ada jalan dan
perumahan di daerah itu, seperti Mampang, Warung Buncit dan Pejaten,"
katanya. Semua lahannya masih ditumbuhi pepohonan.
Adolf
mengatakan, pada masa pemerintahan Gubernur DKI Ali Sadikin, wilayah
Kebayoran hingga Semanggi tidak diperbolehkan untuk mendirikan
bangunan. Namun dalam perkembangannya makin banyak para pendatang
dari luar Jakarta yang memenuhi wilayah Kebayoran.
Tentunya
makin banyaknya penduduk, memicu pembangunan pembangunan rumah yang
begitu cepat. "Ini juga yang membuat harga tanahnya terus
tinggi," ujarnya.
Sebenarnya pada tahun 1950, Kebayoran
Baru dirancang untuk ditempati 50 ribu orang saja. Tapi sekarang
jumlahnya jauh melebihi itu. "Dulunya kota satelit tapi sekarang
kota yang krodit.
***
Ada satu sebutan di wilayah
Kebayoran Baru yang hingga kini masih dipertahankan. Biasanya,
sebutan ini kerap dilontarkan kondektur bus saat akan memasuki
wilayah Blok M. Sebutan itu tak lain adalah CSW.
Lalu
bagaimana sejarah munculnya nama CSW ini? Menurut Alwi Shahab,
kata CSW adalah singkatan dari Centrale Stichting Wederopbouw. CSW
adalah sebuah lembaga yang bertugas mengelola wilayah Kebayoran
Baru.
Kebayoran Baru pada masa kembalinya Belanda
ke Tanah Air pada tahun 1948 dibentuk sebagai kota satelit Jakarta,
yang ketika itu berpusat di sekitar wilayah Jakarta Kota. Nah untuk
pengelolaannya ditugaskan kepada CSW.
Informasi lainnya
menyebutkan CSW jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah Pusat
Yayasan Rekonstruksi. Ketika itu CSW digunakan untuk penampungan
truk-truk, mesin gilas, alat-alat berat, material, batu-batuan, aspal
dan tempat tinggal pegawai golongan I atau tenaga juru
karya.
Kantor CSW diresmikan pada 1 Juni 1948 yang
lokasinya tak jauh dari Terminal Blok M sekarang ini. Kemudian pada 1
Januari 1952, CSW berganti nama jadi Pembangunan Chusus Kotabaru
Kebayoran.
Sampai 1958 kawasan di Jakarta Selatan ini
masih ditangani oleh Departemen Pekerjaaan Umum, bukan Pemda DKI.
Namun kini penanganannya di bawah kendali Pemprov DKI Jakarta.
vivanews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar